DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian Tidak sum’ah 1
B. Dalil-Dalil 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendapat Para Ahli 5
B. Pelajaran Yang Dapat di Ambil 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 10
B. Saran-Saran 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Tidak Sum’ah
Tidak sum’ah adalah tidak mendengarkan kebaikan yang kita miliki kepada orang lain untuk memperoleh pujian dan kedudukan di hati mereka dan tidak menceritakan segala amal baiknya yang telah dilakukan supaya orang lain memberikan perhatian dan keistimewaan.
Sifat ini tidak membawa celaka bagi orang yang melakukannya dan tidak membawa dirinya untuk bersikap munafik, yang mana pada hakekatnya orang itu tidak menipu orang lain dan Allah SWT dan tidak juga menipu dirinya sendiri, dan bahkan membawa kedalam kemusryikan.
Sifat tidak sum’ah tidak dapat menghapus pahala amal baik seseorang yang bahkan tidak bisa mencelakannya walau perbuatan itu tidak kedengaran, namun Allah SWT mendengar akan suatu perbuatan tersebut dan makna yang terkandung didalamnya amatilah besar nilainya dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu marilah kita berusaha sekuat tenaga untuk tetap bersifat tidak sum’ah dan ber lindung kepada Allah SWT, memohon akan ampun dan rhido-Nya, semoga kita semua senantiasa bersifat tidak sum’ah tersebut.
B. Dalil-Dalil
1. Dalil yang berkenaan dengan larangan Riya’ dan sum’ah, Allah SWT berfirman :
ÈÎÇ ™y$dèqbt ¹|xŸEÍkÍNö ãt` dèNö #$!©%Ïïût ÈÍÇ 9jÏ=ùJßÁ|#jÍ,úš ùsquƒ÷@× ÈÐÇ #$9øJy$ããqbt ruƒtJôZuèãqbt ÈÏÇ ƒã�t#!äârcš dèNö #$!©%Ïïût
Artinya :
Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalat nya dan orang-orang yang berbuat riya’ serta enggan menolong dengan barang yang berguna. (Q.S. Al-Ma’un 107 : 4-7)
Rasulullah SAW bersabda :
^*A-y#_RlA^R-r@u(-:A^k@R#_ilA^M^K@y-l-x^FA-o-AA-m-F-W@o-A#-N_A
Artinya :
Sesungguhnya perbuatan yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik yang paling kecil adalah riya. (H.R. Muslim)
2. Dalil yang berkenaan dengan hukum-hukumnya, Allah SWT berfirman :
ru)ÎŒs# zy»‰ÏããgßNö rudèqu #$!© †äƒs»‰Ïããqbt #$9øJßZu»ÿÏ)Éüût )Îb• ruwŸ #$9Z•$•} ƒã�t#!äârbt .ä¡|$<n’4 %s$Bãq#( #$9Á¢=nq4oÍ )Î<n’ %s$Bãqþ#( wI Œsº9Ï7y /tü÷ût B•‹x/ö‹x/Îüût ÈËÍÊÇ %s=ΊxW )Îwž #$!© ƒt‹õ.ä�ãrcš ùs=n` #$!ª ƒãÒô=Î@È ruBt` 4 dy»¯sàwIäÏ )Î<n’4 ruwI dy»¯sàwIäÏ )Î<n’4 wŸ äu#BtZãq#( #$!©%Ïïût ƒt»¯'r‰škp$ ÈÌÍÊÇ ™y6΋xW !s&ã¼ Brgʼny 4 #$9øJßs÷BÏZÏüût ŠßrbÈ BÏ` &rr÷9ÏŠu$!äu #$9ø3s»ÿÏ�Íïût ?sG‚Ï‹är#( ÈÍÍÊÇ B•6Î�Y•$ ™ß=ùÜs»ZY$ æt=n‹ø6àNö !¬ Brgøèy=èq#( &rb &r?è�̃‰ßrbt ru9s` #$9Z•$‘Í BÏ`z #${F™óÿx@È #$!$¤‘ö8Ï ûÎ’ #$QùRçYo»ÿÏ)Éüût )Îb• ru&r¹ô=nsßq#( ?s$/çq#( #$!©%Ïïúš )Îwž ÈÎÍÊÇ RtÁÅ�Ž•# 9sgßNö Brgʼny Btìy ùs'ér'9s»¯´Í�š !¬ ŠÏƒYogßOó ru&rz÷=nÁÝq#( /Î$$!« ru#$ãôGtÁ|Jßq#( ãtàÏŠJV$ &r_ô�•# #$9øJßs÷BÏZÏüût #$!ª ƒãs÷NÏ ru™yqô$t ( #$9øJßs÷BÏZÏüúš ÈÏÍÊÇ
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, apabila mereka berdiri untuk menunaikan shalat, mereka bangkit dengan malas. Mereka hanya riya’ (dengan shalat) dihadapan manusia, mereka tidak ber zikir kepada Allah kecuali sedikit saja, Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir). (mereka) tidak masuk dalam golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak juga kepada golongan lainnya (orang-orang kafir)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendapat Para Ahli
Dari segi syara’ terdapat definisi yang beragam, namun maknanya saling mendekati. Adapun pendapat yang paling bagus adalah definisi yang di kemukakan oleh imam Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (11/336). Menurutnya, tidak Sum’ah dari segi bahasa adalah dari kalimat ( XAms):A ) yang maksudnya adalah tidak menyebutkan (agar tidak didengar). Dikatakan bahwa ia mengerjakannya karena tidak Sum’ah , artinya agar tidak mengharapkan di dengar orang dan mendapat sanjungan.
Dari segi syara’ dalam kitab Fathul Bari (11/336), Sum’ah memiliki tujuan yang sama dengan Riya’, hanya saja Sum’ah berhubungan dengan indra pendengaran. Sedangkan riya berhubungan dengan indra penglihatan.
Seseorang beramal ;lalu melaksanakannya karena Allah, tetapi ia kemudian membaguskan amalnya karena tidak Sum’ah, seperti mengeraskan suara dalam membaca atau berzikir, dengan maksud tidak berharap untuk di dengar. Maka perbuatan seperti ini tidaklah termasuk perbuatan syirik kecil.
Apabila yang menjadi pendorong ibadah adalah karena allah semata, dan tidak Sum’ah, atau sebaliknya tiba-tiba muncul rasa Sum’ah, dan ia (berusaha) untuk menghilangkan nya, maka hal tersebut tidaklah memudharatkannya. Baik ia bersifat Sum’ah apalagi kalau ia bersifat tidak Sum’ah. Mengenai hal ini tidak ada khilaf (diantara para ulama) baik bersifat Sum’ah apalagi tidak Sum’ah.
Namun, amalnya tetap tidak memiliki nilai kurang dan tidak menjadi penyebab lemahnya keikhlasan bagi sang pelaku, karena hatinya tidak Sum’ah. Kecuali sebaliknya, amalnya akan memiliki nilai kurang dan menjadi penyebab lemahnya keikhlasan bagi sang pelaku karena hatinya terjangkit rasa Sum’ah hal seperti ini tidak menggugurkan pahala amal berdasarkan pendapat yang lebih kuat dari (pendapat-pendapat) para ulama.
Adapun Hadits Rasulullah SAW yang artinya:
“Dari Jundub bin Abdillah r.a ia berkata bahwa telah bersabda Rasulullah SAW, “barang siapa yang mendengarkan (amalnya kepada manusia), maka Allah akan memperdengarkan dengan amal tersebut (di hari Kiamat). HR. Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah.
Dalam Fathul Bari (11/336) Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Al-Khattabi berkata, “makna dari Hadits diatas yaitu: barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ikhlas (karena Allah) tetapi semata hanya ingin dilihat dan didengar orang, maka ia akan diberi ganjaran seperti yang menjadi tujuannya itu. Allah akan memamerkan nya, membongkar (kedoknya), dan mengumumkan niat yang dia simpan dihatinya.”
Dan sebaliknya, barang siapa yang mengerjakan suatu amal dengan ikhlas karena allah semata, maka Allah SWT akan membalas suatu amal kebaikannya tersebut dengan pahala.
Dalam tafsir Al-Qurthubi (3/332) disebutkan bahwa para ulama telah membicarakan secara khusus tentang keutamaan merahasiakan amal-amal sunnah (An-Adawaafi) selain dari yang wajib.
Kemudian para ulama juga mengecualikan orang-orang yang menjadi teladan dan figure masyarakat. Mereka itu di sunnatkan pada diri mereka untuk memperdengarkan (amalnya) dan tidak menyembunyikan nya, tetapi, dengan syarat mereka dapat menjaga diri mereka dari sifat Sum’ah..
Imam Al-Izz Abdussalam telah merinci masalah ini. Ia berkata, “jika dikatakan, apakah menyembunyikan (amal) lebih baik demi menghindari riya? Jawabnya adalah bahwa ketaatan itu ada tiga bentuk.
Pertama, apa yang memang disyariatkan untuk ditampakkan dan disiarkan. Misalnya, azan dan iqamah, mendirikan shalat Jum’at dan shalat berjamaah, Hari Raya, Jihad, dan Amar Makruf Nahi Munkar. Semua ini tidak mungkin merahasiakannya atau tanpa memperdengarkannya jika dia khawatir terhadap Riya dan Sum’ah maka dia harus memaksa diri untuk menolak nya sampai datang niat ikhlas dalam hatinya. Kemudian ia mengerjakannya dengan hati ikhlas seperti yang disyariatkan.
Kedua, ada yang menyembunyikan nya lebih baik dari pada menampakkan nya. Misalnya, membaca sir bacaan dalam shalat (sunnah yang dilakukannya secara pribadi) atau berzikir dengan sir. Ini adalah jenis ibadah yang menyembunyikan nya lebih baik dari pada menampakkan nya.
Ketiga, ada yang kadang disembunyikan dan kadang ditampakkan, misalnya sedekah. Jika yang ber sedekah khawatir riya atas dirinya, maka merahasiakan lebih baik dari pada menampakkan.
Akan tetapi, makalah yang dibahas ini adalah mengenai tidak Sum’ah atau tidak ingin didengar. Yang termasuk dari bagian tidak Sum’ah adalah pada bagian point satu dan point dua.
B. Pelajaran Yang Dapat Diambil
Adapun pelajaran yang dapat diambil dari pembahasan makalah tadi:
1. Seseorang dapat beramal dengan tulus dan ikhlas melaksanakannya, karena Allah Ta’ala, karena tidak ada rasa Sum’ah, sehingga walaupun ia membaguskan amalnya, seperti mengeraskan suaranya dalam membaca atau berzikir, maka tetap saja tidak ada yang namanya rasa Sum’ah itu tergeletak dihatinya, karena adanya sifat tidak Sum’ah.
2. Apabila kita beribadah dan pendorong kita adalah karena Allah semata, lalu muncul tidak sum’ah, atau sebaliknya sifat sum’ah, maka harus berusaha untuk menghilangkan nya. Maka hal tersebut pun tidaklah memudharatkannya. Baik ia tidak bersifat sum’ah maupun tidak. Namun, amalnya tetap memiliki nilai kurang apabila ia bersifat sum’ah dan tidak memiliki nilai kurang apabila tidak bersifat sum’ah. Oleh sebab itu, marilah kita untuk senantiasa bersifat tidak sum’ah, agar semua amal ibadah kita bisa diterima oleh Allah SWT.
3. Mengenai amal, lebih baik dinampakkan dan ada kalanya lebih baik disembunyikan. Misalnya azan dan iqamah, ini merupakan amal yang lebih baik dinampakkan. Dan misalnya, membaca sir bacaan dalam shalat (sunat yang dilakukannya secara pribadi) atau berzikir dengan sir. Ini merupakan amal yang lebih baik disembunyikan dari pada menampakkan nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak sum’ah adalah tidak memperdengarkan kebaikan yang kita miliki kepada orang lain, atau tidak mendirikan amal shaleh kepada orang lain untuk memperoleh pujian dan kedudukan di hati mereka dan tidak menceritakan segala amal baiknya yang telah dilakukan supaya orang lain memberikan perhatian dan keistimewaan.
Adapun pengertian tidak sum’ah, yang dikemukakan oleh Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathur Bari (11/336). Menurutnya, tidak sum’ah dari segi bahasa adalah dari kalimat ( XAms):A ) yang maksudnya adalah tidak menyebutkan (agar tidak didengar). Dikatakan bahwa ia mengerjakannya karena tidak sum’ah, artinya agar tidak mengharapkan di dengar orang dan mendapat sanjungan.
Dari segi syara’ dalam kitab Fathul Bari (11/336), sum’ah memiliki tujuan yang sama dengan riya’, hanya saja sum’ah berhubungan dengan indra pendengaran. Sedangkan riya’ berhubungan indra penglihatan.
Apabila yang menjadi pendorong ibadah adalah karena Allah semata, dan tidak sum’ah, atau sebaliknya muncul sifat sum’ah maka, hendaklah ia untuk menghilangkan akan sifat sum’ah dan menanamkan sifat tidak sum’ah tersebut. Maka hal tersebut tidaklah memudharatkan akan ibadah nya, baik ia bersifat sum’ah apalagi kalau ia tidak bersifat sum’ah.
Akan tetapi nilai ibadahnya akan menjadi kurang apabila ia bersifat sum’ah, kecuali ia bersifat tidak sum’ah, maka nilai ibadah nya pun tidak akan menjadi berkurang, dan tidak akan menjadi penyebab lemahnya keikhlasan bagi dia, karena hatinya tidak sum’ah.
Berdasarkan pendapat yang lebih kuat dari (pendapat-pendapat) para ulama, hal tersebut di atas tidak menggugurkan pahala ibadah.
B. Saran-Saran
Adapun saran-saran yang ingin saya sampaikan yaitu :
1. Perlunya bagi kita untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tidak sum’ah, dan riya. Karena pada dasarnya sum’ah itu saling berkaitan dengan riya’, dan sebaliknya sum’ah itu, saling berlawanan dengan tidak sum’ah.
0 komentar:
Posting Komentar
Luangkan waktu Anda untuk menulis komentar untuk mempermudah merespon posting ini...